Pada masa Nabi Muhammad masih hidup, seluruh
permasalahan fiqih (hukum Islam) dikembalikan kepada Rasul. Pada masa ini dapat
dikatakan bahwa sumber fiqih adalah wahyu Allah SWT. Namun demikian juga terdapat
usaha dari beberapa sahabat yang menggunakan pendapatnya dalam menentukan
keputusan hukum. Hal ini didasarkan pada Hadis muadz bin Jabbal sewaktu beliau
diutus oleh Rasul untuk menjadi gubernur di Yaman. Sebelum berangkat, Nabi
bertanya kepada Muadz:
ٍأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ فَقَالَ
كَيْفَ تَقْضِي فَقَالَ أَقْضِي بِمَا فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَإِنْ لَمْ
يَكُنْ فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِي قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ
الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Sesungguhnya Rasulullah Saw. mengutus Mu’adz
ke Yaman. Kemudian Nabi bertanya kepada Muadz bin Jabbal: Bagaimana engkau akan
memutuskan persoalan?, ia menjawab: akan saya putuskan berdasarkan Kitab Allah
(al-Quran), Nabi bertanya: kalau tidak engkau temukan di dalam Kitabullah?!, ia
jawab: akan saya putuskan berdasarkan Sunnah Rasul SAW, Nabi bertanya lagi:
kalau tidak engkau temukan di dalam Sunnah Rasul?!, ia menjawab: saya akan
berijtihad dengan penalaranku, maka Nabi bersabda: Segala puji bagi Allah yang
telah memberi Taufiq atas diri utusan Rasulullah SAW”. (HR. Tirmizi)
Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa
Ushul Fiqih secara teori telah digunakan oleh beberapa sahabat, walaupun pada
saat itu Ushul Fiqih masih belum menjadi nama keilmuan tertentu. Salah satu
teori Ushul Fiqih adalah, jika terdapat permasalahan yang membutuhkan kepastian
hukum, maka pertama adalah mencari jawaban keputusannya di dalam al-Quran,
kemudian Hadis. Jika dari kedua sumber hukum Islam tersebut tidak ditemukan
maka dapat berijtihad.
·
Masa
Mekkah dan Madinah
Periode ini dimulai sejak diangkatnya Muhammad SAW
menjadi Nabi dan rasul sampai wafatnya. Periode ini singkat, hanya sekitar 22
tahun dan beberapa bulan. Akan tetapi pengaruhnya sangat besar terhadap
perkembangan ilmu fiqh. Masa Rasulullah inilah yang mewariskan
sejumlah nash-nashhukum baik dari Al-Qur’an maupun Al-Sunnah,
mewariskan prinsip-prinsip hukum islam baik yang tersurat dalam
dalil-dalil kulli maupun yang tersirat dari semangat Al-Qur’an
dan Al-Sunnah.
Periode Rasulullah ini dibagi dua masa yaitu :
masa Mekkah dan masa Madinah. Pada masa Mekkah, diarahkan untuk memperbaiki
akidah, karena akidah yang benar inilah yang menjadi pondasi dalam hidup. Oleh
karena itu, dapat kita pahami apabila Rasulullah pada masa itu memulai
da’wahnya dengan mengubah keyakinan masyarakat yang musyrik menuju
masyarakat yang berakidah tauhid, membersihkan hati dan menghiasi diri dengan
al-Akhlak al-Karimah, Masa Mekkah ini dimulai diangkatnya Muhammad SAW
menjadi Rasul sampai beliau hijrah ke Madinah yaitu dalam waktu kurang lebih
selama 12 tahun.
Di Madinah, tanah air baru bagi kaum muslimin,
kaum muslimin bertambah banyak dan terbentuklah masyarakat muslimin yang
menghadapi persoalan-persoalan baru yang membutuhkan cara
pengaturan-pengaturan, baik dalam hubungan antar individu muslim maupun dalam
hubungannya dengan kelompok lain di lingkungan masyarakat Madinah, seperti
kelompok Yahudi dan Nasrani. Oleh karena itu, di Madinah disyaratkan hukum
yang meliputi keseluruhan bidang ilmu fiqh.[1]
·
Sumber
Hukum Masa Rasulullah
a.
Al-Qur’an
Al-Qur’an diturunkan kepada Rasulullah tidaklah
sekaligus, turun sesuai dengan kejadian atau peristiwa dan kasus-kasus tertentu
serta menjelaskan hukum-hukumnya, memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan
atau jawaban terhadap permintaan fatwa.
Contoh kasus seperti : Larangan menikahi
wanita musyrik. Peristiwanya berkenaan dengan Martsad
al-Ganawi yang meminta izin kepada Nabi untuk menikahi wanita musyrikah,
maka turun ayat :
”Dan
janganlah kamu nikahi wanita-wanita Musyrik sebelum mereka beriman”.
(al-Baqarah : 221)
Pada dasaranya hukum-hukum dalam Al-Qur’an
bersifat kulli (umum), demikian pula dalalahnya
(penunjukannya) terhadap hukum kadang-kadang bersifat qath’i yaitu
jelas dan tegas, tidak bisa ditafsirkan lain. Dan kadang-kadang bersifat dhâni yaitu
memungkinkan terjadinya beberapa penafsiran.[2]
Bidang hukum yang lebih terperinci tentang
pengaturannya dalam Al-Qur’an adalah tentang bidang al-Ahwal Asyakhshiyah yaitu
yang berkaitan dengan pernikahan dan warisan.
b. Al-Sunnah
Al-Sunnah berfungsi menjelaskan hukum-hukum yang
telah ditegaskan dalam Al-Qur’an. Seperti shalat dijelaskan cara-caranya dalam
Al-Sunnah. Disamping itu juga menjadi penguat bagi hukum-hukum yang telah
ditetapkan dalam Al-Qur’an. Ada pula Hadist yang memberi hukum tertentu, sedangkan
prinsip-prinsipnya telah ditetapkan dalam Al-Qur’an.
Penjelasan Rasulullah tentang hukum ini sering
dinyatakan dalam perbuatan Rasulullah sendiri, atau dalam
keputusan-keputusannya dan kebijaksanaannya ketika menyelesaikan satu kasus,
atau karena menjawab pertanyaan hukum yang diajukan kepadanya, bahkan bisa
terjadi dengan diamnya Rasulullah dalam menghadapi perbuatan sahabat yang
secara tidak langsung menunjukkan kepada diperbolehkannya perbuatan tersebut.
Hal ini sesuai dengan ayat :
”Dan
Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa
yang telah diturunkan kepada mereka”. (An-Nahl : 44)
Rasulullah apabila dihadapkan kepada
peristiwa-peristiwa yang membutuhkan penetapan hukum, beliau menunggu wahyu.
Apabila wahyu tidak turun, beliau berijtihad dengan berpegang kepada semangat
ajaran Islam dan dengan cara musyawarah bersama sahabat-sahabatnya. Bilamana
hasil ijtihadnya salah, maka diperingatkan oleh Allah bahwa ijtihadnya itu
salah. Seperti ditunjukkan yang benarnya dengan diturunkannya wahyu. Seperti
dalam kasus tawanan perang Badar (al-Anfal: 67) dan kasus pemberian izin
kepada orang yang tidak turut perang Tabuk (At-Taubah : 42-43). Apabila
tidak diperingatkan oleh Allah, maka berarti ijtihadnya itu benar. Dari sisi ini
jelas bahwa hadist-hadistqath’i yang berkaitan dengan hukum itu
bisa dipastikan adalah penetapan dari Allah juga.
c. Ijtihad Pada Masa Rasulullah
Pada zaman Rasulullah-pun ternyata Ijtihad itu
dilakukan oleh Rasulullah dan juga dilakukan oleh para sahabat, bahkan ada
kesan Rasulullah mendorong para sahabatnya untuk berijtihad seperti terbukti
dari cara Rasulullah sering bermusyawarah dengan para sahabatnya dan juga dari
kasus Muadz bin Jabal yang diutus ke Yunan. Hanya saja Ijtihad pada zaman
Rasulullah ini tidak seluas pada zaman sesudah Rasulullah, karena banyak
masalah-masalah yang ditanyakan kepada Rasulullah kemudian langsung dijawab dan
diselesaikan oleh Rasulullah sendiri. Disamping itu Ijtihad para sahabat pun
apabila salah, Rasulullah mengembalikannya kepada yang benar. Seperti dalam
kasus Ijtihad Amar bin Yasir yang berjunub (hadast besar) yang kemudian
berguling-guling dipasir untuk menghilangkan hadast besarnya. Cara ini salah,
kemudian Rasulullah menjelaskan bahwa orang yang berjunub tidak menemukan air
cukup dengan tayamum.
Ijtihad Rasulullah dan pemberian izin kepada para
sahabat untuk berijtihad memberikan hikmah yang besar karena : ”Memberikan
contoh bagaimana cara beristinbat (penetapan hukum) dan memberi latihan kepada
para sahabat bagaimana cara penarikan hukum dari dalil-dalil yang kulli, agar
para ahli hukum Islam (para Fuqaha) sesudah beliau dengan potensi yang ada
padanya bisa memecahkan masalah-masalah baru dengan mengembalikannya kepada
prinsip-prinsip yang ada dalam Al-Qur’am dan Al-Sunnah”.[3]
Dapat disimpulkan, pada zaman Rasulullah, sumber
hukum itu adalah Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Keduanya diwariskan kepada generasi
sesudahnya, dalam Hadist dinyatakan : ”Aku tinggalkan padamu dua hal, kamu
tidak akan sesat apabila berpedoman kepada keduannya, yaitu Kitabullah dan
Sunnah Rasul-Nya”.
[2] Yusuf Musa, Muhammad Dr., Tarikh al-Fiqh
al-Islami, Dar al-Kitab al-Arabi, 1958, hal.20.
info yang menambah pengetahuan terimakasi.
BalasHapussama-sama. tapi mungkin masih banyak kekurangan hhe
HapusMenambah wawasan.. terimakasih.. semoga menjadi amal jariyah.. aminn
BalasHapusbeberapa motode ushul sudah dipraktekkan pada masa nabi, seperti nasakh, qiyas yang dilakukan oleh nabi, dan pembenaran qiyas sahabat. By: Ushul Fiqih di Masa Nabi SAW
BalasHapusTerimaksih buat kakak dari UIN MAKASSAR,krna materi kakak sudah sangat membantu saya untuk mengerjakan tugas saya dari dosen(IAIN PALOPO)
BalasHapusTerimaksih buat kakak dari UIN MAKASSAR,krna materi kakak sudah sangat membantu saya untuk mengerjakan tugas saya dari dosen(IAIN PALOPO)
BalasHapus